Al-Quran Membawaku Keliling Dunia
Suaranya yang merdu dalam melantunkan Al-Quran, mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari lereng gunung,
lembah, ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan ke dalam
Kakbah. Lantunan suaranya mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda
sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja.
Malam baru saja beranjak, ketika sesosok pria yang masih terlihat muda
menaiki panggung dan duduk di kursi yang disediakan. Usai salam dengan
suara rendah cenderung serak, pria berperawakan ramping itu mulai
membaca taawudz dan basmalah. Dengan mata setengah terpejam, perlahan,
ia mulai mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan irama bayati, lagu
pembuka qiraah yang bernada rendah.
Perlahan tapi pasti suara itu meningkat, terkadang melengking tinggi,
melantun panjang. Di depannya, ratusan orang bagaikan tersihir,
terkesima mendengarkan lantunan suaranya yang naik-turun mengirama,
bagaikan gelombang ombak yang susul-menyusul menghampiri pantai.
Tak jarang, setiap kali alunan suaranya berhenti untuk mengambil napas,
puluhan kepala, seperti tersadar dari hipnotis, segera menggeleng
takjub.
Ia memang legenda. Meski Musabaqah Tilawatil Quran secara rutin digelar
di berbagi tingkatan, belum ada satu pun yang menyamainya. Hampir semua
umat Islam Indonesia, terutama
di pedesaan, jika ditanya siapakah qari yang paling dikenal di
Indonesia, jawabnya pasti Ustadz H. Muammar Z.A.
Suaranya yang merdu serta keindahan iramanya dalam melantunkan Al-Quran
begitu termasyhur. Kelebihan ini pula yang mengantarkannya ke berbagai
pelosok bumi. Mulai dari desa-desa di lereng gunung, tepi lembah dan
ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan mengantarkannya
masuk ke dalam Kakbah. Lantunan suaranya yang khas mengalun, mulai dari
bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja. Ia
penah mengaji di istana Raja Hasanah Bolkiah, istana Yang Dipertuan
Agong Malaysia, sampai istana raja-raja di Jazirah Arab.
Awal Juli, Alkisah mengunjungi pria kelahiran Pemalang ini di
kediamannya di depan Masjid Al-Ittihad, di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta
Barat. Ayah satu putri dan empat putra ini bertutur renyah, diselingi
tawa segar.
Naik TanduSaya ini anak kampung yang beruntung bisa keliling dunia, bisa mengaji saat jemaah haji wukuf di Padang Arafah dan saat bermalam di Mina.
Bahkan, pada tahun 1981, saya diberi kesempatan masuk ke dalam Kakbah,
tuturnya haru. Wah, nggak kebayang sebelumnya. Di dalam Kakbah saya cuma
bisa tertunduk, menangis. Saya nggak berani mengangkat wajah dan
memandang langit-langit.
Lebih dari 25 tahun, Muammar melanglang buana, melakukan perjalanan yang
menurutnya sangat mengasyikan. Dalam menghadiri undangan mengaji, ia
pernah mencoba berbagai kendaraan, dari mulai naik pesawat pribadi,
pesawat komersial, limousine, ojek, sampai tandu. Medan pegunungan Jawa Barat,
tuturnya, yang paling sering membuatnya ditandu. Sementara pedalaman
Kalimantan dirambahnya dengan glotok, ojek perahu mini yang mampu
menjangkau sungai-sungai kecil di pedesaan.
Suatu ketika, ceritanya, ia diundang mengaji di beberapa tempat di
daerah Garut. Qari yang puluhan kasetnya masih terus dicari orang ini
menempuh perjalanan Bandung-Garut-Cikajang-Singajaya dengan kendaraan
roda empat. Namun perjalanan berikutnya yang naik-turun gunung harus
dilaluinya dengan ojek, dan terakhir jalan kaki menyusuri jalan setapak.
Kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Muammar tidak mampu
lagi berjalan. Panitia yang mengawalnya pun berinisiatif untuk menyewa
tenaga orang kampung untuk menandunya sampai di lokasi pengajian.
Setelah berjalan kaki selama empat jam, ia pun tiba. Dan yang membuat
semangatnya bangkit kembali, ternyata, ratusan hadirin masih dengan
setia menunggu kehadirannya.
Sampai di tempat pengajian jam dua belas malam, saya langsung mengaji,
kenang pangasuh Pesantren Ummul Qura, Cipondoh, ini. Selesai mengaji,
jam setengah dua, kami turun. Sampai di kota Garut jam setengah delapan
pagi.
Tidak sekali-dua kali perjalanan seperti itu dilakoninya. Belum lama
ini, untuk kesekian kalinya, Muammar menghadiri undangan ke Cianjur
bagian selatan, daerah Cikendir, yang juga harus dilalui dengan jalan
kaki berjam-jam di jalan setapak berlumpur. Pulangnya, ia kelelahan. Dan
akhirnya, lagi-lagi, ditandu.Ia memang tidak pernah memilih-milih
tempat atau pengundang. Baginya, selama ada waktu, dan kondisi fisiknya
memungkinkan, pasti dengan senang hati ia akan hadir. Dari koceknya ia
membayar sekitar 500 ribu kepada para pemandunya.
Niat saya itu kan berkhidmah, tutur Muammar dengan rendah hati. Istana,
saya datangi. Pelosok kampung pun, saya kunjungi.
Ia meyakini, ia bisa terus mengaji. Dan kariernya terus langgeng seperti
sekarang ini, antara lain, berkat doa orang-orang yang tinggal di
pelosok desa dan pegunungan yang pernah dihadirinya mereka itu. Mereka
itu betul-betul ikhlas, baik, dan jujur, katanya tulus.
Bayangkan, untuk menghadiri pengajian saya, mereka sampai harus berjalan
puluhan kilometer. Bahkan ada yang membawa bekal dan kompor, serta
masak di perjalanan.
Dalam perjalanan berkhidmah ini pula, Muammar pernah mengalami
kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon menjelang tahun 1990-an.
Mobilnya hancur dan ia pun terluka parah. Cukup lama ia harus menginap
di rumah sakit. Saat itulah Muammar merasakan kedekatan dengan para
ulama yang bergiliran menjenguknya. Tak jera, setelah pulih ia pun
kembali menjelajahi pelosok tanah air, untuk melantunkan firman-firman
Tuhannya.
Sejak BeliaMeski masih terlihat cukup muda, Ustadz
Muammar tahun ini menginjak usia 51 tahun. Ia dilahirkan di Dusun
Pamulihan, Warungpring, Kecamatan Moga, sekitar 40 kilometer selatan ibu
kota Kabupaten Pemalang, dari pasangan H. Zainal Asyikin dan Hj.
Mukminatul Afifah, ulama dan tokoh masyarakat di desanya. Muammar adalah
anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Namun hanya sembilan yang masih
hidup. Belakangan, adiknya, Imron Rosyadi Z.A., juga mengikuti jejaknya
menjadi qari nasional setelah menjuara MTQ. Adiknya yang bungsu, Istianah, kini menjadi salah satu anggota DPRD
Tingkat I Yogyakarta.
Muammar mengenal qiraah sejak belia. Ia memang berasal dari keluarga
qari. Ayah dan kakak-kakaknya dikenal bersuara merdu. Sang ayah adalah
pemangku masjid di dusunnya, yang setiap akhir malam melantunkan
tarhiman, shalawat dan puji-pujian untuk membangunkan orang-orang guna
mendirikan Shalat Shubuh.
Waktu kecil, ia, bersama teman-temannya, belajar seni baca Al-Quran dari
teman lain yang lebih besar, yang kebetulan menguasai beberapa lagu. Di
samping itu Muammar mulai keranjingan terhadap qiraah, belajar secara
serius pada kakaknya, Masykuri Z.A. Namun karena kakaknya tinggal di
sebuah pesantren yang cukup jauh dari desanya, pelajarannya baru akan
bertambah jika Masykuri pulang ke rumah ketika liburan.Namun demikian
bakat Muammar mulai kelihatan. Tahun 1962, ia menjuarai MTQ
tingkat Kabupaten Pemalang untuk tingkat anak-anak, mewakili SD-nya.
Waktu itu saya masih memakai celana pendek saat mengaji, he he he,
kenang Muammar.Sekitar awal tahun 60-an, suara dan lagunya memang sudah
mulai bagus, meski hafalan suratnya masih terbatas. Ia sudah mulai
diundang untuk mengaji di acara-acara pengajian atau pengantinan di
kampungnya. Dan lucunya, ayat yang dibaca itu-itu saja. Ketika kakaknya
pulang dari pesantren, barulah hafalan ayat dan lagunya bertambah.
Selepas SD, Muammar sempat nyantri di Kaliwungu, Kendal, sebelum
melanjutkan ke PGA di Yogyakarta. Selesai PGA, ia sempat juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di Kota Gudeg, ia melanjutkan kiprahnya di bidang seni baca Al-Quran. Muammar mengikuti MTQ tingkat Provinsi DIY
yang diadakan oleh Radio Suara Jokja tahun 1967. Ia berhasil menyabet
juara pertama untuk tingkat remaja. Tahun-tahun berikutnya, Muammar ikut
lagi dan kembali juara. Tahun itu juga, ia mewakili DIY ikut MTQ tingkat nasional di Senayan tingkat remaja, namun ia belum meraih juara.
Sejak itu, Muammar menjadi langganan tetap kontingen DIY di MTQ
Nasional, tahun 1972, 1973, dan seterusnya. Tahun 1979, ia bahkan
terpilih menjadi anggota kontingen Indonesia di sebuah haflah, semacam MTQ internasional, yang diselenggarakan di Mekkah. Gelar juara nasional pertama kali diraihnya di MTQ Banda Aceh tahun 1981. Kali ini ia mewakili DKI Jakarta. Muammar yang saat itu tengah belajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Ciputat, mendapatkan hadiah sebuah televisi. Pemerintah Provinsi DKI sendiri kemudian memberi tambahan bonus hadiah, ibadah haji.
Namun, tidak seperti kariernya di bidang tarik suara, dalam pendidikan Muammar mengakui kurang berhasil. Kuliahnya di PTIQ
yang tinggal skripsi tidak selesai. Waktu itu, kata sang qari, ada
perubahan peraturan yang agak mendadak. Jika semula syarat ujian skripsi
itu hafal lima juz Al-Quran, tiba-tiba diubah menjadi 30 juz.Wah, saya
nggak siap, ujar Muammar jujur. Meskipun demikian, uniknya, setelah
menjadi juara nasional dan qari internasional, ia justru diminta
mengajar di sana.
Tidak BerpantangDitanya mengenai rahasia suaranya,
suami Syarifah Nadiya ini dengan serius mengatakan tidak mempunyai resep
rahasia apa pun. Dalam hal-hal seperti itu, saya cenderung rasionalis,
ungkap Muammar. Saya nggak begitu percaya pada hal-hal begituan, seperti
nggak boleh makan ini-itu, harus cukup tidur, atau harus tidur jam
segini. Bahkan saya jarang tidur lho, apalagi sebelas hari ini saya
selalu pulang pagi.
Ia pun mengakui, meski dulu pernah sekali ikut-ikutan mencoba, tidak
berani ikut gurah. Saya nggak berani ikut, katanya. Apalagi yang enggak
jelas. Karena, salah-salah malah merusak pita suara. Kalau cuma
melegakan, mungkin ya. Tapi kalau dipaksakan begitu lalu saraf
tenggorokannya putus, kan malah jadi penyakit, he he he. Sebenarnya,
kata Muammar, kalau memahami tata cara wudu yang benar dan
menerapkannya, itu juga sudah menjadi gurah. Misalnya ketika istinsyaq,
memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkan lagi dengan keras.
Disinggung bagaimana kiatnya menjaga suara, qari yang pernah diundang
mengaji di istana Yang Dipertuan Agong Malaysia
dan Sultan Hasanah Bolkiah, Brunei, ini mengaku hanya memasrahkan diri
kepada Allah. Niat saya mau ngaji lillaahi taala, Ya Allah, tolong saya.
Namun yang pasti, setiap bangun tidur ia selalu melakukan warming up,
pemanasan, dengan rengeng-rengeng, menggumamkan nada-nada tilawah.
Demikian juga ketika akan mengaji. Menurutnya ini penting, untuk
menghindari kaget.
Berbeda dengan para penyanyi yang banyak mempunyai pantangan, terutama
makanan dan minuman, Muammar menyantap hampir semua makanan dan minuman
yang disukainya. Bahkan, makanan kesukaannya adalah sambel, lalap, dan
ikan asin, yang harus selalu ada di meja makannya.
Saya hanya memastikan, ketika saya mau ngaji, kondisi badan saya fit,
ungkapnya, berbagi resep. Baru kemudian, kunci terpentingnya adalah
mengaji dengan ikhlas dan perasaan senang.
Bagi Muammar, mengaji dengan ikhlas dan senang hati itu menjadi hiburan
dan kenikmatan tersendiri. Maka, tak mengherankan, setiap kali
melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, ia tampak begitu menikmati.
Terkadang matanya setengah terpejam, sembari menggeleng-gelengkan
kepalanya. Pokoknya saya dengerin sendiri, karena memang pada dasarnya
saya suka. Itu, menurutnya, membuatnya mampu mengaji minimal setengah
jam, jika di dalam kota. Karena mereka kan sering ketemu saya. Tapi
kalau di luar kota, terlebih di luar Jawa, saya bisa satu jam, bahkan
lebih.
Dalam satu hari biasanya ia mengaji di tiga sampai empat tempat. Di
beberapa tempat, terkadang ia juga berceramah, biasanya jika mubalignya
tidak datang. Mengaji itu pula yang mempertemukannya dengan sang istri
tercinta, ketika sang pujaan hati yang dinikahinya pada tahun 1984 itu
duduk dalam kepanitiaan sebuah pengajian di Kemanggisan. Buah pernikahan
dengan wanita berdarah Aceh itu kini sebagian telah beranjak remaja.Lia
Fardizza, putri sulung qari yang pernah berguru kepada Syekh Abdul
Kholil Al-Mishri, qari besar Negeri Piramid, kini menginjak semester
ketiga di London School, jurusan bahasa Inggris. Sejak TK, Lia memang
gandrung dengan bahasa internasional tersebut, terlihat dari hobinya
membaca komik-komik berbahasa Inggris. Belakangan ia juga gemar
mendendangkan lagu-lagu Barat. Tidak mengherankan, dialek lisannya,
menurut Muammar, cenderung ke Amerika.
Putra-putranya, Ahmad Syauqi Al-Banna, kini duduk di kelas 3 SMU, Husnul Adib Al-Hasyim kelas 2 SMP,
Raihan Al-Bazzi, kelas 4 SD, dan si bungsu Ammar Yuayyan Al-Dani, kelas
3 SD. Di antara lima anaknya, tiga di antaranya mewarisi keindahan
suara sang ayahanda, Lia, Raihan, dan Ammar. Namun karena keterbatasan
waktu serta kesibukan Muammar, diakuinya, potensi putra-putrinya itu
belum tergarap.
Menurutnya, qari yang baik itu harus memiliki suara yang bagus, napas
panjang, penguasaan lagu, dan dialek yang bagus. Dan, membentuk dialek
itu tidak gampang. Orang Jawa, misalnya, akan cukup sulit mengucapkan
huruf ba dengan benar. Ia sendiri mengaku cukup lama mempelajari
dialek Al-Quran dengan memperhatikan dialek qari-qari dari Mesir, Arab,
dan daerah Timur Tengah lainnya.
Qari lokal yang bagus, menurut Muammar, biasanya yang berasal dari
pesantren Al-Quran yang kebetulan pengasuhnya juga seorang qari mumpuni.
Ini karena sang kiai biasanya mempunyai kelengkapan ilmu qiraah dan
kepekaan, maka pembelajaran qiraahnya juga dilengkapi dengan ilmu
tajwid, makharijul huruf (ilmu pelafalan huruf Al Quran), dzauq (cita
rasa bahasa), dan sebagainya.
Dari PedesaanKarena itulah, sejak empat tahun Muammar
memulai pembangunan sebuah pesantren di daerah Cipondoh, yang
dinamakannya Ummul Qura. Karena seorang qari, ia bercita-cita
menyebarkan tradisi qiraah ini melalui pesantrennya ini, sebagai
sumbangan pada bangsa. Kalau Allah mengizinkan, kata Muammar, saya ingin
mencetak Muammar-Muammar baru. Melalui lembaganya itu pula, ia
mengharapkan, seni baca Al-Quran akan kembali dicintai dan dikagumi umat
Islam.
Muammar bercita-cita membangun sebuah lembaga pendidikan yang
komprehensif, mulai dari TK, SD, SMP, sampai SMA
yang mempunyai nilai plus, Al-Quran. Ia mengharapkan bisa membekali
santrinya dengan kelengkapan ilmu-ilmu Al-Quran, baik tajwid, qiraah,
dasar-dasar tafsir, maupun tahfidz-nya (hafalan Al-Quran). Paling tidak,
targetnya setamat SD atau SMP para santri
akan mampu membaca Al-Quran dengan fasih, baik, dan benar.
Terlebih dengan lingkungan yang Islami di pesantren, setidaknya mereka
akan mempunyai pegangan hidup.Pada tahap awal, sudah dibangun sebuah
masjid, ruang baca, dan dua buah gedung asrama. Ke depan ia ingin
membangun sekolah formal dulu, baru kemudian akan diasramakan. Namun,
karena keterbatasan dana, sementara ini pembangunan Pesantren Ummul Qura
tersebut tersendat.
Tanggal 22 Juli kemarin di Gorontalo diselenggarakan Seleksi Tilawatil
Quran tingkat nasional. Namun, tidak seperti pada dasawarsa 80-an, event
empat tahunan yang diselenggarakan untuk menjaring bibit-bibit baru
qari dan qariah serta penghafal dan mubaligh berbasis Al-Quran ini
sepertinya tak lagi memiliki gaung.Akhir-akhir ini semangat mendalami
seni membaca Al-Quran di masyarakat kita ini memang cenderung mengalami
penurunan, tutur qari yang pernah diminta membaca Al-Quran saat wukuf di
Padang Arafah. Apalagi kecintaan terhadap Al-Quran.
Belakangan ini, perhatian orang, terutama generasi mudanya, lebih
tercurah ke kontes-kontes musik yang memang lebih memikat, ujar tokoh
berusia 51 tahun ini gundah. Sementara MTQ, dari dulu kemasannya tidak pernah berubah. Ia merindukan, MTQ
ke depan akan mempunyai gereget dan gaung yang besar, seperti pada
masa-masanya dulu.
Lebih lanjut, Muammar juga mengharapkan optimalisasi peran lembaga resmi
yang dibentuk untuk mengembangkan seni baca Al-Quran, Lembaga
Pengembangan Tilawatil Quran. Idealnya, lembaga tersebut tidak hanya
sibuk menjelang pelaksanaan STQ atau MTQ,
atau menjaring bahan jadi, tetapi secara intensif dan konsisten
menggali dan membina bibit unggul sejak dari tingkat dusun. Selama ini,
bukankah juara-juara tilawah justru banyak muncul dari pedesaan, yang
ekonominya pas-pasan….
Diambil dari http://ahmad-iftah-shiddiq.blogspot.com/2006/03/ustad-muammar-za.html